KARINAKAS 2006

 

Gempa 27 Mei 2006 menjadi momentum KARINAKAS untuk memulai pelayanannya kepada korban gempa. Pada waktu itu, kantor berpusat di gereja St. Fransiskus Xaverius Kidul Loji, beberapa meter dari Titik Nol kota Yogyakarta. Dimulai dari sebuah semangat kerelawanan, empati pada rasa kemanusiaan yang dibela, Mgr. Ig. Suharyo,Pr memberi mandat untuk melayani mereka yang Kecil, Lemah, Miskin, Tersingkir dan Difabel tanpa terbatasi oleh sekat suku, agama, ras dan antargolongan. KARINAKAS didukung oleh organisasi anggota Caritas Internationalis (Caritas Internationalis Member Organizations / CIMOs) dari berbagai negara yang saat itu datang ke Yogyakarta.

 

Dimulai dari penyediaan bantuan logistik dan non logistik bantuan lokal, nasional dan internasional, relawan bergerak membantu mereka yang paling membutuhkan dan belum terbantu oleh lembaga dan pemerintah.

 

Masih melekat di ingatan mengenai berita koin peduli Prita Mulyasari dan Bilqis. Mereka adalah sebagian dari orang yang berada di sebuah keadaan yang mengundang simpati dan empati masyarakat. Kasus Prita Mulyasari yang berawal dari sebuah curahan hati di milis karena pelayanan yang menurutnya merugikan konsumen, hingga berujung pada meja hijau. Sedangkan Bilqis yang berjuang mendapatkan uluran tangan untuk transplantasi hati.  Sayangnya, belum sempat impian itu terwujud, sudah lebih dahulu dipanggil Yang Kuasa. Simpati dan empati masyarakat tercurah pada saat itu. Banyak gerakan pengumpulan koin untuk membantu mereka. Masyarakat tanpa dipimpin tergerak untuk membela rasa penderitaan yang tengah dialami oleh Prita Mulyasari dan Bilqis.

 

Fenomena tersebut memununculkan gerakan pengumpulan koin sebagai aksi solidaritas. Koin- koin yang terkumpul adalah bentuk empati dan kebersamaan dari sebuah pembelaan rasa yang perlu dipikul bersama. Sebuah simbol kekuatan masyarakat terhadap ketidakadilan dan ketidak berdayaan yang perlu diperjuangkan. Rasa setia kawan, satu rasa, diantara masyarakat yang memimpin mereka untuk meringankan penderitaan.

 

Bertemu dengan Uskup Agung Semarang, Mgr. Pujasumarta adalah sebuah kesempatan yang dinantikan. Peserta adalah staff KARINAKAS, bertempat di Realino Universitas Sanata Dharma(24/08), turut serta Caritas Germany dalam sarasehan tersebut. Dalam persentasinya, KARINAKAS memperkenalkan seluruh program pelayanan di wilayah Keuskupan Agung Semarang. Penyampaian kegiatan – kegiatan program sore itu dipaparkan oleh Albert Deby sebagai perwakilan lembaga.

 

Pada kesempatan tersebut, Bapak Uskup yang bernama lengkap Johannes Maria Trilaksyanto Pujasumarta bercerita mengenai sebuah cerita sebelum Merapi erupsi mengenai percakapan seorang Kyai dan para santrinya.

Yogya (16/5)

Yogyakarta pagi ini lebih cerah dari biasanya. Harapan untuk hidup lebih baik seakan dikuatkan oleh hangatnya matahari pagi. Di tengah suasana yang penuh semangat, datanglah informasi yang mengejutkan. Alvian David Triatmaja meninggal dunia. Sumini, ibunya,  kehilangan anak bungsunya yang sejak dua minggu lalu berjuang dan diperjuangkan hidupnya yang terancam gizi buruk, TBC, dan hernia.

 

22 kursi roda, 3 kruck, dan 3 walker dibagikan. Bertempat di Balai Desa Ceporan, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten anak-anak CP bersama dengan orang tua mereka diundang untuk acara pembagian kursi roda, kruck dan walker secara resmi. United Cerebral Palsy Roda Untuk Kemanusiaan Indonesia (UCP RUKI) dan KARINAKAS bekerjasama menangani anak-anak CP di Kabupaten Klaten.

Hari yang sungguh membahagiakan bagi anak-anak Cerebral Palsy (CP/ Layuh Otak) Klaten hari Kamis (08/07) lalu.22 kursi roda, 3 kruck, dan 3 walker dibagikan. Bertempat di Balai Desa Ceporan, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten anak-anak CP bersama dengan orang tua mereka diundang untuk acara pembagian kursi roda, kruck dan walker secara resmi. United Cerebral Palsy Roda Untuk Kemanusiaan Indonesia (UCP RUKI) dan KARINAKAS bekerjasama menangani anak-anak CP di Kabupaten Klaten.

 

Semangat  Menuju Kehidupan Lebih Baik

Kelakukan kita terhadap kehidupan, menentukan sikap kehidupan terhadap kita.

Our attitude toward life determines life’s attitude towards us.
~ Earl Nightingale


 

“Saya berulang kali belajar berjalan mbak, memang sulit dan saya hampir saja menyerah. Tadinya saya berpikir, ya sudah lah.. mungkin memang saya harus begini.” Katanya sedih

Kelakukan kita terhadap kehidupan, menentukan sikap kehidupan terhadap kita.

Our attitude toward life determines life’s attitude towards us.
~ Earl Nightingale

 

Karina-KAS menjalankan program Pengurangan Resiko Bencana Oleh Masyarakat (PRBOM). Program ini diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 2008 di Paroki St. Maria Lourdes, Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.

 

Keuskupan Agung Semarang terletak di Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jumlah populasi yang tinggal di wilayah keuskupan adalah 19.056.082 jiwa dan 2.64%-nya atau 503.597[1] jiwa adalah umat Katolik. Secara geografis, beberapa wilayah atau paroki di Keuskupan Agung Semarang terletak di lereng-lereng Gunung Merapi, gunung teraktif di Pulau Jawa yang masih menjadi bagian dari Sabuk Api Pasifik (Pacific Ring of Fire). Saat ini, lebih dari 67.305 jiwa masih tinggal di lereng-lereng gunung tersebut dan secara langsung berhadapan dengan atau hidup bersama bahaya letusan Gunung Merapi[2].

 

Saat ini, hampir di semua negara, difabel merupakan salah satu dari kelompok yang terpinggirkan. Difabel masih mendapatkan kesulitan, untuk mendapatkan perhatian sebagai objek dalam program – program pembangunan, sekaligus sebagai subjek / pelaku aktif. Dalih bahwa masih banyaknya isu yang harus dipikirkan selain masalah difabilitas seringkali menjadi alasan bagi beberapa tokoh pembangunan untuk mengesampingkan isu difabilitas atau bahkan  tidak memberikan perhatian sama sekali terhadap isu ini.

 

Menurut International Disability and Development Consortium ( IDDC ) yang ditampilkan di website www. make-development-inclusive.org, pembangunan inklusif merupakan sebuah proses untuk memastikan bahwa semua kelompok yang terpinggirkan bisa terlibat dalam proses pembangunan. Konsep tersebut mengupayakan pemberian hak bagi kelompok / kaum yang terpinggirkan  di dalam proses pembangunan. Saat ini, hampir di semua negara, difabel merupakan salah satu dari kelompok yang terpinggirkan. Difabel masih mendapatkan kesulitan, untuk mendapatkan perhatian sebagai objek dalam program – program pembangunan, sekaligus sebagai subjek / pelaku aktif. Dalih bahwa masih banyaknya isu yang harus dipikirkan selain masalah difabilitas seringkali menjadi alasan bagi beberapa tokoh pembangunan untuk mengesampingkan isu difabilitas atau bahkan  tidak memberikan perhatian sama sekali terhadap isu ini. Hal ini masih ditambah lagi dengan dukungan angka statistik di beberapa negara yang seakan – akan menunjukkan bahwa jumlah difabel di negara – negara tersebut sangat kecil untuk diperhatikan. Padahal sebenarnya angka – angka tersebut masih perlu dipertanyakan keakuratannya.  Kisaran angka prevalensi dari difabel seringkali terlihat sangat dramatis, dari di bawah 1 % di Kenya dan Bangladesh, sampai pada angka 20% di New Zealand, ini terjadi karena berbagai faktor yang mempengaruhinya, misalnya definisi/ pengertian yang berbeda mengenai difabilitas, perbedaan metode pengumpulan data, perbedaan pada tipe dan kualitas perencanaan pendataan. Selain karena itu prevalensi difabilitas di Asia sulit untuk diukur karena besarnya populasi dan kurangnya sumberdaya manusia dan pendukung survey yang lain.

 

© 2010 karinakas.or.id. | +62 274 552126 | karinakas.office@gmail.com