ADVOKASI PEMENUHAN HAK DIFABEL

Pelatihan advokasi

Peserta Pelatihan Advokasi Hak Hak Difabel di Kecamatan Weru Sukoharjo 28-30 April 2016 (Foto: Martin)

Oleh:

Martinus Danang Pratama Wicaksana

"Difabel belum mendapatkan pemenuhan hak yang selayaknya,” kata Karel Tuhehay.

Dua orang pemateri yaitu Karel Tuhehay dari KARINAKAS dan Metta Yanti dari KONSTANTA nampak bersemangat mendampingi kader RBM (Rehabilitasi Bersumber daya Masyarakat). Kamis hingga Sabtu (28-30/4/16) KARINAKAS mengadakan pelatihan advokasi hak-hak difabel di rumah makan Mbah Sunar di kecamatan Weru kabupaten Sukoharjo. Peserta terdiri dari Tim RBM Desa dan perwakilan SHG (Self Help Group) yang didominasi oleh kaum wanita dan beberapa difabel ini bertujuan meningkatkan pemahaman tentang advokasi, dan bagaimana merencanakan dan menjalankan advokasi untuk pemenuhan hak-hak difabel.

Hari Pertama

Metta Yanti memulai materinya dengan mengajak peserta menonton film Samin vs Semen. Tampak peserta dengan serius melihat film yang diputar. Metta mengajak peserta untuk mengerti terlebih dahulu mengenai advokasi melalui contoh ibu-ibu dari Kendeng. “Advokasi dapat dipahami sebagai segala strategi dan aksi untuk mempengaruhi kebijakan dalam organisasi, pemerintahan dan masyarakat yang mendukung ide, gagasan yang kita ingin wujudkan,” kata Metta.

Metta memberikan tugas kepada peserta untuk mendalami strategi advokasi dari film tersebut. Diantaranya adalah membangun narasi publik, kepemimpinan transformatif dengan reversal strategi/arus balik, pemasaran sosial, dan manajemen organisasi. Para peserta kemudian dibagi dalam empat kelompok berdasarkan strategi advokasi. Setiap kelompok mengerjakan tugas menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan Metta dan mendiskusikannya bersama.

Hari Kedua

Staff KARINAKAS, Karel Tuhehay, memulai aksinya dihari kedua ini. Dia menjelaskan materinya mengenai hak-hak difabel. Menurutnya, sampai dengan saat ini, hak-hak difabel belum terpenuhi dengan semestinya. “Ini menjadi pekerjaan utama kita (Tim RBM Desa) agar hal-hal yang terjadi di masyarakat terkait dengan akses ke pendidikan, mata pencaharian, kesehatan, politik, dan lain-lain, dapat terpenuhi dengan selayaknya,” kata Karel.

Karel memaparkan bahwa kebijakan terkait dengan pemenuhan hak-hak difabel belum sepenuhnya terimplementasi dengan baik. Lahirnya UU No.8 Tahun 2016 yang baru, kiranya bisa memenuhi dan melindungi difabel. Salah satu contoh pelanggaran terhadap hak-hak difabel yaitu “Di bidang pendidikan anak difabel ditolak untuk bersekolah di sekolah umum. Untuk itu, advokasi adalah salah satu cara yang bisa dipakai untuk mendorong pihak-pihak agar memberikan dukungan yang baik kepada terpenuhinya hak-hak difabel yang seringkali diabaikan. Yang menarik di sesi ini adalah, ada salah satu peserta yang mengusulkan kepada Fasilitator agar agenda besok hari, sebaiknya diarahkan untuk membuat draft Perdes, yang nantinya akan dilakukan lobi-lobi kepada Pemerintah Desa untuk menerbitkan Perdes terkait dengan pemenuhan hak-hak difabel. Semua peserta akhirnya sepakat untuk mengagendakan besok harinya untuk membuat Drat Perdes. 

 

Hari Ketiga

Puncak dari pelatihan advokasi hak-hak difabel yakni menyusun rancangan peraturan desa (Perdes). Kesepakatan yang diambil tentang judul Draft Perdes yaitu tentang Peran Tim RBM Desa dalam rangka mewujudkan kemandirian difabel. Metta mengumpulkan kembali peserta. Kemudian dibagi dalam kelompok-kelompok kecil untuk membuat bahan rancangan sesuai dengan bidang dalam ekonomi, pendidikan, politik, dan sosial budaya. “Setelah kita mendapatkan isu dan pemikiran strategis dan setiap kelompok menyaringnya, kita dapat menyusun Perdes dengan merangkum semua,” kata Metta.

Setelah setiap kelompok menyaring strategi-strategi sesuai dengan bidang-bidangnya, kemudian mereka merangkumnya dan diajukan kepada pemerintah desa. “Jadi logikanya Perdes ini lahir karena Tim RBM ingin mengusulkan dalam Musrembang jadi pemerintah dikenai kewajiban untuk mendukung,” harap Metta.

© 2010 karinakas.or.id. | +62 274 552126 | karinakas.office@gmail.com