Alhamdulillah...

 

http://i.imgur.com/qGegGSf.jpg

..sepenggal cerita dari Lombok Utara


"Di sana, pak. Masih naik lagi. Paling atas. Paling ujung," seru Nuraini (25) padaku sambil menghela nafas panjang di gang sempit mendaki. "Sini, ibu. Saya bawakan terpalnya," ujarku menawarkan bantuan. Diserahkan terpal yang dibawanya. Satu plastik penuh paket bantuan diletakkan diatas kepalanya. Seorang anak kecil tampak girang, membawa matras tidur baru, mengikutinya. Ilham (5), lelaki kecil itu, adalah anak tunggal Nuraini.

 

Dusun Montong, desa Jenggala, kecamatan Tanjung, adalah satu dari puluhan, bahkan mungkin ratusan dusun yang tercabik oleh gempa bumi pada 22 Juni 2013 yang lalu di kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Menurut Sumadi, kepala dusun, ada 64 rumah rusak. Nuraini hanyalah satu dari dua puluhan rumah yang rusak berat. Separuh rumahnya hancur.

 

"Alhamdulilah ya pak, semua selamat. Saat gempa terjadi, saya pas sholat lohor dapat satu rekaat. Si Ilham itu lagi tidur. Langsung saya ambil dan gendong keluar. Itupun kepalanya masih sempat tertimpa runtuhan tembok. Sekali lagi, alhamdulillah. Ternyata tidak apa apa sampai sekarang."

 

Sejenak kemudian Sumarto (26), suami Nuraini datang.  Sepeda motor tua yang dikendarainya diparkir di ruangan sempit antara bruga (sejenis gazebo khas Lombok yang dibuat di depan rumah) dan dapur. Semenjak gempa, keluarga ini tinggal di bruga yang ditutup sementara dengan anyaman bambu. Bersebelahan dengan dapur yang sejak awal memang di luar rumah inti. Mereka tak bisa lagi tinggal di rumah.

 

"Terlalu berbahaya, pak. Separuh runtuh, sisanya retak-retak. Itupun bagian yang retak kemarin dirobohkan tentara pas pak Gubernur datang nengokin.Ya sudah, sementara seadanya dulu, "kata Sumarto sambil duduk di sebelah istrinya.

 

Lima hari sesudah gempa (27/06), Gubernur NTB, Zainul Madji, datang ke dusun dan melakukan seremoni peletakan batu pertama sebagai simbolisasi janjinya untuk membantu rehabilitasi rumah korban.

 

"Bantuan sudah ada. Ada mi 8 bungkus. Beras, beberapa kali diantar. Ya kalau dijumlah, 10 kg. Trus, tiga kaleng nasi. Dari pemerintah ya kayaknya?" Kata Nuraini sambil menolehkan kepalanya pada si suami, meminta persetujuan. "Iya, sepertinya," ujar Sumarto dengan ekspresi ragu-ragu.

 

Sang istri menceritakan bahwa semua keluarga mendapat jatah bantuan, yang rumahnya rusak maupun yang tidak.  "Kadusnya diprotes warga. Semua warga harus dapat, bukan cuma yang rumahnya rusak. Baru kali ini, bantuan diberikan dengan panggil nama saya," kata Nuraini. "Sebenarnya, tidak bener juga kalau caranya begitu," kata Sumarto. Lirih.

 

Keluarga ini menempati rumah yang dibuat oleh orang tua Sumarto pada 1992. Semenjak Sumarto menikah, orang tuanya pindah ke desa lain. Tinggal di rumah asalnya. Sumarto menempati rumah itu bersama istri, anaknya, dan adik lelakinya.

 

"Kita sih pengennya segera bisa bangun rumah lagi. Tapi, duit darimana? Kalau ada duit, buat makan aja dulu. Saya cuma tukang cat. Kalau ga ada orang ngasih kerjaan, ya kerja di ladang orang. Sehari 20 ribu. Kalau sama istri bisa dapat 40 ribu,  sih,"Sumarto melanjutkan cerita istrinya.

 

Melangkahkan kaki di antara reruntuhan rumah membuat nafas terasa sesak. Pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab bermunculan. Bagaimana mereka menghadapi musim pancaroba ini? Kapan rumah mereka akan kembali seperti semula? Akankah pemerintah memenuhi janjinya? Bagaimana nanti jika mereka sakit?

"Sila, pak, " kata seorang pemuda membalas sapaanku. Pemuda itu tengah membersihkan reruntuhan rumahnya bersama dua orang lelaki lain. Nampaknya mereka bertiga adalah anak bapak. Sambil bercakap-cakap, mereka memisahkan batu bata yang masih utuh dan yang rusak. Tidak nampak senyum. Namun, juga tak nampak raut kesedihan. Yang kutangkap adalah wajah ketekunan dan keyakinan. Sedikit kelegaan mengisi benakku. Masih ada harapan.

 

http://i.imgur.com/N3Sy6wd.jpg?1

 

 

© 2010 karinakas.or.id. | +62 274 552126 | karinakas.office@gmail.com