Slamet Widodo dan Rustini, pasangan difabel yang sangat berbahagia (foto: Jeje)
Tidak ada yang mampu menghalangi bersatunya kasih yang mendalam.
Keyakinan itulah yang hendak dibuktikan Ahmad Slamet Widodo (43) dan Rustini (38).
Sepasang suami istri berboncengan mesra ketika menghadiri pembentukan Forum Komunikasi Disabilitas Gunungkidul (FKDG) yang dilaksanakan pada Kamis (14/04/16) lalu, di Kecamatan Saptosari, Yogyakarta. Keterbatasan fisik tidak membuat mereka minder untuk bergabung dalam forum yang digagas oleh KARINAKAS itu. “Sebelum orang lain bersimpati, kita harus menunjukkan kualitas diri kita terlebih dahulu,” ungkap lelaki yang akrab dipanggil Widodo itu.
Slamet Widodo dan Rustini bersiap pulang setelah menghadiri acara pembentukan Forum Komunikasi Disabilitas Gunungkidul (FKDG) di kantor Kecamatan Saptosari Gunungkidul, 14 April 2016 (Foto: Jeje)
Keyakinan Widodo ternyata diamini oleh istrinya. Rustini yang kesehariannya membuka warung makan di pantai Nguyahan pun mengaku biasa-biasa saja dengan kondisi fisiknya. Ia mengaku sering terlibat dalam kegiatan sosial. “Kalau tetangga mengundang waktu punya hajat, saya biasa ikut rewang,” jelas Rustini.
Widodo dan Rustini mengisahkan keterbatasan fisik mereka terjadi semenjak balita. Keduanya juga mengaku, kecelakaan yang terjadi ketika diasuh oleh nenek mereka masing-masing sebagai permulaan kecacatan mereka. “Saya jatuh terduduk ketika hendak digendong si-mbah. Setelahnya, saya hanya bisa tiduran di dipan selama tiga bulan,” kenang Rustini.
Namun, semua cerita lama yang menyebabkan kecacatan fisik itu tidak membuat mereka bermalas-malasan dalam mengarungi kehidupan. Bisa dikatakan, pasangan yang menikah pada 10 Desember 2013 itu mampu di bidang ekonomi. Oleh sebab pelayanan yang baik, seperti dalam pengakuan Widodo, warung makan Rustini di pantai Nguyahan tidak pernah sepi pelanggan.
Meskipun istrinya sudah mapan dalam segi ekonomi, Widodo tidak serta-merta memilih menganggur. Kini, lelaki yang selain menjadi tukang pijat dan les privat baca Al-quran itu mendapat kontrak selama dua tahun untuk mengajar di sebuah TPA (Tempat Pendidikan Al-quran) di Sleman. “Sebagai lelaki, saya tidak mau hanya diberi oleh wanita. Saya bertanggung jawab untuk menafkahi istri saya,” ungkap Widodo sungguh-sungguh.
Ada yang menarik mengenai kisah pertemuan mereka yang berujung hingga ke pelaminan itu. Kisah kasih Widodo dan Rustini bermula dari seorang kenalan Widodo, yang sebelumnya menaruh rasa suka kepada Rustini tetapi ditolak karena Rustini tidak menyukai lelaki tersebut. Kenalan Widodo itulah, yang telah menikahi saudara Rustini, yang memperkenalkan Widodo kepada Rustini. Berbekal penilaian terhadap sifat calon istrinya, Widodo membulatkan keyakinan untuk melamar Rustini. “Allah menilai manusia dari hatinya. Makanya, bismillah, saya memilih ia tanpa melihat luarannya,” jelas Widodo.
Rustini seiya-sekata dengan suaminya. Ia menilai suaminya dari sikap penerimaan Widodo terhadap dirinya yang diakui oleh Rustini banyak kekurangan. “Aku udah ngomong gini-gini dan ia masih mau menerimaku,” tutur Rustini tersipu malu.
Pasangan suami istri itu memberikan pelajaran penting kepada sesama penyandang disabilitas pada akhir wawancara. Menurut mereka agar masyarakat mau menerima penyandang disabilitas sebagai anggota komunitas langkah utama harus dimulai dari sikap optimistis. “Kita bisa lebih baik dari mereka yang mengaku normal,” tutup Widodo yang segera disahuti istrinya dengan ‘maju terus’.
Penulis : Achmad FH Fajar
Reporter : JB. Judha Jiwangga
Catatan : *judul diambil dari akun facebook Widodo.