Melatih Kearifan Budaya Sejak Sekolah Dasar

Kearifan Lokal

Para Guru Penulis Modul dari SDN Cluntang 1 dan 2 serta SDN SRuni 1 dan 2, bersama fasilitator Prasena Nawak Santi dan Fransisca Asmiarsi, serta KARINAKAS berfoto bersama setelah usai melakukan penulisan modul di SDN 2 Cluntang, Kecamatan Musuk, Boyolali (Foto: Hardono)

Boyolali, khususnya kecamatan Musuk dan Selo merupakan wilayah yang rawan bencana. Situasi itu perlu diantisipasi dengan kesiapsiagaan dan pengetahuan kebencanaan yang harus dimiliki segenap warga, bahkan sejak mereka berusia dini.

Bencana bukanlah peristiwa yang terjadi tiba-tiba. Untuk itu bencana harus menjadi bagian dari pengetahuan kehidupan sehari-hari. Jadi, harus ada upaya untuk mendekatkan diri dengan pengalaman bencana. Bagaimana caranya? Mudah, yakni dengan belajar budaya lokal sehingga tubuh kearifan budaya.

 

Dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) di Balai Senat UGM, Irwan Abdullah mengungkapkan dengan tegas, bahwa bencana sebenarnya telah menjadi bagi dari “pengalaman dekat” dari banyak orang yang berada di banyak tempat dan waktu yang berbeda manusia di nusantara pernah mengalami berbagai macam peristiwa bencana.

Modul budaya Karinakas

Para guru sedang menyelesaikan penulisan modul yang diadakan KARINAKAS bertempat di SDN 2 Cluntang, Pertengahan Maret 2017 (Foto: Ferry)

Manusia harus titen dengan setiap perubahan yang menyangkut lingkungan. Masyarakat Boyolali selalu melihat bahwa turunnya binatang buas dari atas puncak Merapi selalu menandakan akan terjadi letusan Gunung Merapi. Juga berbagai tanda alam selalu mengingatkan manusia untuk selalu waspada.

Untuk itu KARINAKAS mengajak guru guru di kecamatan Musuk dan Selo Boyolali untuk menyiapkan modul “Pengurangan Risiko Bencana, Berbasis Budaya Lokal”. Difasilitasi Prasena Nawak Santi dan Fransisca Asmiarsi dari Yayasan Abisatya Yogyakarta, para guru menyusun unsur unsur budaya lokal seperti dolanan anak, pakaian adat, teknologi pertanian, upacara adat, rumah tradisional dan lain-lain menjadi sumber belajar dan materi pembelajaran.

Guru-guru yang terlibat antara lain, Niken Setyowati dan Meylina D. Rachmawati dari SDN 1 Sruni, Dwi Harsono dari SDN 2 Sruni, Triyanto dari SDN 1 Cluntang serta Sri Joko Waluyo dan Nanik Giri Ponco W dari SDN 2 Cluntang.

Para guru mengaku senang ikut menulis modul Pengurangan Risiko Budaya Berbasis Budaya ini, nereka teringat masa masa kecil ketika modernitas belum terlalu mengganggu lekosistem dan lingkungan alam. Menurut mereka dengan menjaga kearifan lokal sejak usia dini, anak-anak kelak akan menjadi orang dewasa yang cukup peduli dan mampu menjaga alam dari kerusakan yang mengakibatkan bencana. (Ferry T. Indratno)

© 2010 karinakas.or.id. | +62 274 552126 | karinakas.office@gmail.com