Sanggar Anak Inklusif Sukoharjo

Pagi itu (Rabu,2 Mei 2013, 10.00) suara riuh anak-anak PAUD Tunas Bangsa di desa Nguter Sukoharjo Jawa Tengah sangat jelas terdengar. Mereka telah usai mengikuti kegiatan belajar.  Persis di sebelah kanan ruang PAUD telah berkumpul kurang lebih 9 anak dengan beragam difabilitas didampingi orang tua atau pendampingnya masing-masing sedang melakukan aktivitas terapi. Di antaranya anak dengan gangguan pendengaran, CP (Layu Otak), hiperaktif, juga grahita. Mereka datang dari beberapa desa di Kecamatan Nguter, bahkan ada juga dari Selogiri Wonogiri  Jawa dan Karanganyar Jawa Tengah.

http://i1274.photobucket.com/albums/y433/karinakas/c27abb01-e92d-4baa-8e68-172d5758d382_zps5a9a8580.jpg

Beberapa alat permainan yang sekaligus sebagai media terapi tersedia di sana seperti: bola, tenda plastik, kuda-kudaan, kertas lipat, pewarna, standing table, dll. Ruangan ini juga dihiasi dengan pernak-pernik karya kreasi anak-anak yang tergantung di dinding, dll.

 

Seorang anak CP, bernama Putri (10th) sedang diberikan terapi fisik oleh seorang fisioterapis yang didatangkan dari daerah sekitar. Tangisan keras dan terasa memilukan bagi yang mendengar dan melihat, kadang  kala membuat orang kasihan dan  menjauh. Tetapi, terapi yang sering membuat anak menangis ketika  anggota tubuh seperti kaki dan tangan disenamkan atau membantu duduk, berdiri , menegakkan kepala, merupakan hal baik untuk stimulasi seorang anak CP. Perlakuan-perlakuan tersebut untuk  mencegah kontraktur (pemendekan otot yang sifatnya tetap) dan spastisitas (kekakuan otot-otot yang tak terkontrol), sehingga mengarah pada tumbuh kembang yang lebih maksimal. Putri diketahui mengalami CP sejak usia bayi, setelah diperiksakan ke dokter. Terapi rutin dijalaninya sejak balita hingga saat ini 3 kali seminggu, di rumah sakit dan di Sanggar inklusif ini.

“Putri selalu menangis saat diterapi, bahkan kadang kala menjadi seperti trauma, tetapi setelah ikut terapi bersama anak-anak yang lain di Sanggar ini, dia kelihatan ceria, lebih sering tersenyum” kata Ibunya dengan sumringah.

Ibu yang membesarkan anaknya sendirian ini belum tahu persis apa yang  menyebabkan anak tunggalnya menjadi CP. Dokter pernah menyarankan untuk tes TOXO (TORCH: Toxoplasma, Rubella, Cyto Megalo Virus (CMV), Herpes Simplex Virus (HSV), dll) tetapi belum dijalankan, karena informasi yang diterima biayanya sangat mahal.

Seperti dua ibu muda lain yang mengantri untuk memperoleh terapi di Sanggar Anak Inklusif ini,  anaknya juga CP. Mereka belum pernah memeriksakan diri untuk mengetahui kemungkinan dalam dirinya terkena toxo. Kedua anak tersebut diketahui CP sejak usia balita, bahkan salah satu ibu tersebut anaknya yang pertama juga CP, tetapi meninggal di usia balita.

Di tengah suasana para orang tua asyik ngobrol sambil bercengkrama dengan anak-anak difabel yang hadir di situ, tampak seorang yang sudah cukup dewasa bernama Maryono (34th) dengan kursi roda didorong masuk ke ruangan oleh Mb. Puji seorang relawan. Maryono ini juga CP, tangannya sudah mengalami spastisitas, tetapi dia mampu membaca dan menulis. Dia belajar sendiri dari menonton TV. Maryono kelihatan menahan rasa sakit, salah satu kakinya berdarah. Dengan P3K yang tersedia Maryono diobati lukanya, di bagian samping telapak kakinya ada benjolan yang ternyata berisi kerikil. Hal ini sangat mungkin terjadi karena di rumah Maryono ke mana-mana ngesot. Kerikil dikeluarkan dengan peniti yang dibakar untuk disterilkan kemudian ditetesi dengan NaCL dan diplester. Maryono menggigit handuk yang dipegangnya, untuk mereduksi rasa nyeri di lukanya.

Setelah hampir semua anak CP diterapi, rupanya ada  tamu khusus dari Karanganyar yang hadir. Seorang Bapak bersama seorang Ibu dan seorang anak bernama Ayu. Ayu (13th) tampak malu-malu bersembunyi di balik punggung ibunya yang menjelaskan maksud kehadirannya di Sanggar. Bahwa keluarga ini akan berbagai pengalamannya dalam mendampingi anak difabel. Ibu Ayu mengisahkan,  bahwa saat mengandung Ayu terkena Rubella, sehingga Ayu lahir dengan gangguan pendengaran di kedua telinganya dan salah satu indera matanya kurang jelas melihat.

Saat ini Ayu duduk di kelas 5 SDLB. Ayu berkomunikasi dengan bahasa isyarat dan bahasa bibir. Ibu ini bercerita bahwa anaknya saat ini sedang marah dan protes. “Kenapa aku tidak seperti kakak. Ibu itu bodoh tidak bisa melahirkan aku!” cerita ibunya menirukan ungkapan anaknya sambil menangis. Tetapi keluarga ini juga memberikan semangat kepada yang hadir, terutama kepada orang tua yang anaknya juga mengalami persoalan yang sama, bahwa kita tidak sendirian dan anak adalah titipan yang Mahakuasa.






 

 

 

© 2010 karinakas.or.id. | +62 274 552126 | karinakas.office@gmail.com